RIAU, PEKANBARU - Dunia pers Indonesia secara idealisme sesungguhnya saat ini telah tenggelam dengan adanya eforia reformasi, lebih cenderung berpihak kepada siapa dan kepentingan apa. Pergeseran ideologi itu membuat fungsi media massa sebagai alat pendidikan masyarakat tidak lagi menjadi ciri yang kuat melekat, malah fungsi pers dijadikan alat propaganda yang efektif bagi pemilik kepentingan.
Hodayatullah (Aktivis, Pengamat Politik & Redaktur Tabloid Moral) |
Orientasi pers menjadi samar-samar,padahal pers itu kekuatan keempat di negeri ini setelah legislatif, ekesekutif, dan yudikatif. Kita bisa kontrol semuanya dari pemberitaan dengan kaedah jurnalistik yang berlaku, hal itu sangat dirasakan saat pemilihan bupati dan wakil bupati di meranti terkhususnya pada tahun ini.
Peranan pers sungguh kental berpihak dan memiliki kepentingan terhadap kubu yang membayar dan pembuatan media - media fiktif seakan - akan mudah tanpa ada aturan yang jelas. Peran pers yang begitu besar dalam pembentukan opini publik membuat lembaga ini selalu berbenturan dengan kepentingan.
Dewan Pers seharusnya mengidentifikasi sejumlah masalah yang dihadapi pers Indonesia saat ini.
Menurut saya ada dua hal yang mempengaruhi, baik secara internal dan eksternal, secara eksternal, salah satu tantangan utamanya adalah soal dominasi pemilik modal yang menguasai atau memiliki media.
Secara normatif, UU No.40/1999 tentang Pers, menyebutkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta dapat pula berfungsi sebagai lembaga ekonomi, bukan sebagai media politik..
Sementara pada saat ini media cendrung ingin mengisi warna - warni politik dengan berita - berita yang bersifat diskriminatif atau berat sebelah.
Sementara peranannya sebagai pemenuh hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong supremasi hukum dan HAM, menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran-saran yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran seakan - akan sirna di telan bumi.
Media seolah – olah telah membuat sensasional, pelintiran, kecemasan, provokasi dan kerawanan di tengah masyarakat. Di tengah-tengah, pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. yang menyebabkan bias peran media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Disinilah para pembaca dituntut harus cerdas dan paham untuk menganalisa informasi yang bermutu dan tidak, mana yang berita sampah, mana yang layak dikonsumsi serta disebarkan ke masyarakat. Dengan teknologi sekarang, kita dihadapkan pada pilihan informasi yang sedemikian banyak.
Pengetahuan akan informasi yang benar itu penting agar masyarakat bisa memilah informasi, apakah itu informasi yang benar, berita sampah, atau hanya informasi yang menyesatkan.
Menjadi masalah kemudian, apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan redaksi, sayangnya beberapa pihak yang disebut di atas maupun pihak lain yang mengindikasikan fenomena serupa, justru beralih memanfaatkan situasi ini untuk memuluskan proyek politik pribadi maupun golongannya saja, sehingga objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Pada dasarnya secara ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya, selain itu wajib hukumnya setiap pelaku jurnalistik dalam pemberitaannya untuk menaati kode etik. Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah, jika semua pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada azas serta prinsip ideal tersebut.(rls)
Post a Comment