NASIONAL, PADANG - Era teknologi informasi dewasa ini telah membuat masyarakat Indonesia berada dalam “jarak” kultural. Ketika teknologi informasi dalam genggaman, sikap individualistis semakin dominan. Gawai tercanggih memang bisa memenuhi keinginan seseorang akan informasi, berkomunikasi, dan hiburan, tapi tidak bisa memelihara dan merekat rasa kekeluargaan, kebersamaan, silaturahim, dan sikap saling menghargai budaya yang hidup dan tumbuh-kembang dalam bingkai multikultural.

Begitu juga ketika konsep hunian apartemen tumbuh subur bak cendawan tumbuh di berbagai kota besar di Indonesia. Ribuan keluarga bernaung dalam sebuah apartemen, bukan jaminan mereka bisa menjaga silaturahim, saling menghargai budaya yang multikultural, dan saling berkomunikasi dalam iklim keterbukaan informasi.

Faktanya, kehidupan warga penghuni apartemen larut dalam kesibukan masing-masing, penghuninya dominan memelihara ketertutupan, tidak berdialog atau berkomunikasi, bahkan tidak bertegur sapa walau sudah sama-sama berada dalam lift. Kondisi seperti ini bisa jadi menumbuhsuburkan sikap tidak bersahabat, saling curiga, permusuhan, dan kekerasan lintas budaya. Ini tentu saja bisa memicu timbulnya konflik yang menyebabkan desintegrasi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara konsep tentang multikultural telah lama mendominasi kehidupan masyarakat kita. Hal ini berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa, agama, dan ras. Atas dasar itulah kita membutuhkan konsep hunian apartemen yang berbasis Indonesia yang multikultural, sesuai dengan semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. 

Masyarakat multikultural di sini lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak meski berbeda-beda suku bangsa, ras, maupun agama. Lebih tepatnya masyarakat multikultural tidaklah hanya sebagai konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, akan tetapi menekankan pada keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Dalam berkehidupan secara multikultural, manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang dibekali nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik maupun mental. Seringkali perbedaan kebudayaan menciptakan ketegangan hubungan antar anggota masyarakat. Realitas tersebut harus diakui dengan sikap terbuka, logis, dan dewasa karena perbedaan harus kita anggap sebuah rahmat, di mana kemajemukan dapat mengajarkan kita bersikap toleransi, kerjasama, dan berpikir dewasa. Mengakui perbedaan dan kompleksitas dalam masyarakat.

Kemajemukan atau multikultural menjunjung tinggi unsur kebersamaan, kerja sama, selalu hidup berdampingan dengan damai meski terdapat perbedaan. Menghargai hak asasi manusia dan toleransi terhadap perbedaan.Tidak mempersoalkan kelompok minoritas maupun mayoritas. Jika budaya multikultural ini dikelola dengan baik, ia bisa menjadi kekuatan dan keunggulan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan maju.

http://www.riaucitizen.com/
Cairnhill Nine, Singapore.
(sumber foto: http://realestatehub.sg/singapore-property-news/)
Jika di Singapura ada Cairnhill Nine, apartemen dengan konsep building people building community, yang memungkinkan terciptanya keharmonisan antartetangga di apartemen, baik untuk pasangan muda maupun keluarga besar dari berbagai latar belakang dan profesi, maka pengembang di Indonesia menurut hemat saya bisa menerapkan konsep yang lebih unggul dari itu dalam pembangunan apartemen, yakni apartemen berbasiskan multikultural, budaya Indonesia yang beragam.

Dalam konsep multikultural, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. 

Konsep multikultural bisa diaplikasikan dan diimplementasikan pada elemen-elemen bangunan apartemen. Misalnya motif ukiran dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Saya yakin, generasi muda dan warga yang tumbuh dan besar di lingkungan perkotaan tidak mengenal makna dan filosofi dari motif ukiran yang ada pada budaya berbagai etnik di Indonesia. 

Ketika motif ukiran ada pada elemen bangunan apartemen, sebenarnya ia bisa menjadi kekuatan, ciri khas yang unik, sekaligus untuk mengingatkan alam bawah sadar penghuninya, bahwa Indonesia amat kaya dengan motif-motif ukiran dan memiliki makna yang amat dalam. 

Sebagai contoh, motif ukiran dari etnik Minangkabau. Bagi yang pernah mencermati bangunan Rumah Gadang di berbagai kota di Sumatera Barat, maka pada bangunannya dipenuhi ukiran yang unik dan khas, di mana nama ukirannya dapat dilihat dari kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat. Nama ukiran melambangkan nilai-nilai kehidupan dalam etnik Minangkabau. Penamaan motif dalam ukiran tak hanya sebatas identitas, melainkan juga memiliki makna harfiah dan makna filosofi yang mengandung ajaran-ajaran adat dan agama Islam.

http://www.riaucitizen.com/
Motif ukiran khas Minangkabau
(sumber gambar: http://gladtomakeit.blogspot.co.id/2013_07_01_archive.html)
Contoh ukiran dengan motif kaluak paku. Paku (sejenis tanaman pakis, Gieichonia linearis) sehari-hari dikonsumsi masyarakat Minangkabau sebagai sayur-mayur. Kaluak berarti gelung. Pengertian harfiah yang tersurat dari kaluak paku, berarti gelung tanaman pakis yang memiliki keindahan dan kedinamisan. 

Arti yang tersirat dari simbol kaluak paku ini menggambarkan sifat kodrati manusia. Pucuk paku pada awal pertumbuhannya melingkar ke dalam, yang kemudian pada akhirnya tumbuh melingkar ke arah luar. 

Begitu juga manusia, yang pada tahap awal mengenal dirinya terlebih dahulu sebelum melakukan sosialisasi dan interaksi dengan lingkungannya. Di dalamnya sekaligus tersirat makna pentingnya instrospeksi: bergelung ke dalam lebih dahulu, kemudian baru bergelung ke arah luar. Koreksi kesalahan sendiri, setelah itu baru layak mengoreksi kesalahan orang lain.

Orang Minang mengibaratkan realitas kaluak paku ini sebagai sikap masyarakat Minangkabau terhadap generasi penerusnya. Kaluak paku dalam motif seni ukir merupakan pencerminan sikap budaya dalam mendukung pertumbuhan anak, kasih sayang, sekaligus memberikan pendidikan dan kehormatan.

Lain lagi dengan motif aka bapilin (akar berpilin atau akal diputar). Artinya, tindakan orang Minang yang sia-sia saja tak akan ada, harus ada maksud dan tujuan. Setiap gerak gerik ada tujuannya, ada isinya, jangan sampai tak ada gunanya untuk kehidupan individu atau masyarakat. Karena itu, dia tak boleh putus ada, karena manusia sudah dibekali dengan akal dan pikiran guna memikirkan segala sesuatu untuk hidupnya.

Ada ukiran itiak pulang patang, yang menyiratkan makna keteraturan dan kedisiplinan dalam berorganisasi dan bermasyarakat. Tanpa disiplin dan keteraturan, tanpa pemimpin yang diikuti secara bersama, sebuah kelompok masyarakat tentulah akan sulit sampai pada tujuannya.

Selain itu ada hikmah lain dari prilaku itik yang menjadi ajaran filosofi: saat lapar berpencar, setelah kenyang berhimpun. Ketika pagi hari, itik keluar kandang mencari makan sendiri-sendiri. Sore hari setelah kenyang, mereka pulang bersama dalam satu rombongan. Bandingkan dengan kelaziman prilaku manusia pada umumnya: saat kesulitan mencari bantuan kepada komunitasnya. Namun setelah meraih sukses, bantuan komunitas mungkin tidak diperlukan lagi. Bahkan, seringkali manusia menikmati sendiri kesuksesannya tanpa berbagi. Ini bertolak belakang dengan prilaku itik dan tak sesuai dengan karakter orang Minang (Yurnaldi, Kembali Marah Rumah dengan Simbol Etnik, Kompas 20 Maret 2007).

Ada ratusan jenis motif ukiran dan motif pada kain songket Minangkabau yang menyimbolkan suatu budaya yang luar biasa, hidup dan tumbuh subur dalam budaya Minang, yang tentu saja ini menjadi hal yang menarik diwariskan dari generasi ke generasi. Belum lagi ukiran dari budaya daerah/etnik lain, yang tentu punya makna tersendiri dan menjadi kekuatan yang membanggakan.

http://www.riaucitizen.com/
Motif tato suku Mentawai, Sumatera Barat.
(sumber foto: http://www.ku2h.com/05151551/tempat-objek-wisata-kepulauan-mentawai/)
Saya bersama Ady Rosa juga pernah meneliti dan menemukan 160 motif tato Mentawai tahun 1992. Tato Mentawai adalah tato tertua di dunia. Jika motif tato Mentawai ini menjadi salah satu symbol atau elemen pada banguna n apartemen, maka keberagaman budaya Indonesia semakin terpublikasi dan dimaknai dengan penuh rasa cinta dengan budaya sendiri. Motif tato pun kini sudah menjadi motif batik Mentawai. Kain batik motif tato Mentawai itu pun menarik di pajang di dinding kamar atau ruang tamu apartemen, misalnya.

Itu salah satu strategi menghidupkan budaya Indonesia yang multikultural di apartemen. Staregi lainnya adalah, jika selama ini pada fasilitas umum / publik di lingkungan apartemen jarang atau hampir tak pernah kita jumpai adanya panggung terbuka, maka konsep hunian apartemen di Indonesia ke depan bisa membuat panggung terbuka. Jika fasilitas ini ada, anak-anak, remaja, generasi muda dari keluarga penghuni apartemen bisa latihan berbagai jenis tarian daerah, baik yang tradisional/kontemporer, maupun yang modern.

Tak hanya bentuk tarian, tapi juga berbagai seni-budaya daerah dalam bentuk lain juga bisa dipentaskan di panggung terbuka itu, seperti teater, seni suara/lagu daerah, kuda lumping, debus, rabab, randai, bahkan wayang. Juga seni sastra dalam bentuk pembacaan puisi, cerita pendek, dan monolog.

Kalau panggung terbuka (out door) atau panggung tertutup (in door) menjadi fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh warga hunian apartemen, maka sosialisasi dan silaturahim antarpenghuni akan menjadi kental. 

Lebih dari itu keberadaan panggung tak hanya sekadar untuk pementasan kesenian-budaya dari berbagai daerah, tetapi juga untuk menumbuhkankembangkan kreativitas warga penghuni apartemen, sebagai wujud kecintaannya terhadap budaya Indonesia. 

Warga perlu menonton seni-budaya sebagai bentuk keseimbangan diri, karena seni-budaya penting untuk mengasah hati nurani, kepekaan sosial dan mendekatkan warga dengan budaya itu sendiri. Maraknya kekerasan dalam kehidupan dewasa ini, karena globalisasi membuat manusia berjarak dengan kultural. Teknologi dan globalisasi membuat manusia menderita penyakit neurosis hati nurani. Nah, dengan fasilitas panggung yang bisa digunakan untuk pertunjukan apa saja, warga penghuni ketika pulang kerja dan sudah berada di apartemen bisa menyaksikan pertunjukan budaya daerah sebagai hiburan yang bisa menggugah dan mengasah hati nuraninya, dan menumbuhkan rasa bangga dengan budaya Indonesia yang multikultural.

Jika apartemenya juga berkonsep hunian sekaligus tempat bisnis, maka untuk menghidupkan budaya Indonesia lainnya, hendaknya tersedia ruang-ruang bagi siapa saja untuk menjual kuliner nusantara, sebagai sebuah kekayaan budaya Indonesia. Bayangkan, kalau sebuah apartemen ada 1.000 keluarga, maka sedikitnya terdapat 4.000 jiwa (ibu-papak dan dua orang anak). Jika setiap keluarga belanja kuliner Indonesia Rp100.000 per keluarga setiap hari, maka perputaran uang mencapai Rp100.000.000 per hari atau Rp3 miliar sebulan. Maknanya mungkin tak sebatas nominal uang yang beredar itu, tetapi bagaimana interaksi warga penghuni satu sama lainnya saat berbelanja dan menjadi tahu bahwa kuliner nusantara yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia, memang tak kalah enak dan lezat dengan kuliner mana pun di dunia.

http://www.riaucitizen.com/
Beragam jenis kuliner minang. (sumber foto: http://www.jenzcorner.net)
Dari Minangkabau atau Sumatera Barat tak hanya sekedar rendang, sate, soto dan masakan kapau, nasi goreng patai dan jengkol, tetapi juga ada kuliner khas lain seperti kampiun, bubua cande, lopis, lamang tapai, lamang maluo, lapek bugih, lapek sagan, bika, mangkuak, lompong sagu, teh talua, aia aka, kawa daun, es tebak, es durian dan banyak jenis kuliner lainnya. Itu baru dari Sumatera Barat, belum lagi dari daerah 34 provinsi lainnya. Ini membuktikan bahwa budaya Indonesia luar biasa.

Penulis : Yurnaldi

Era teknologi informasi dewasa ini telah membuat masyarakat Indonesia berada dalam “jarak” kultural. Ketika teknologi informasi dalam genggaman, sikap individualistis semakin dominan. Gawai tercanggih memang bisa memenuhi keinginan seseorang akan informasi, berkomunikasi, dan hiburan, tapi tidak bisa memelihara dan merekat rasa kekeluargaan, kebersamaan, silaturahim, dan sikap saling menghargai budaya yang hidup dan tumbuh-kembang dalam bingkai multikultural.

Post a Comment

Powered by Blogger.