BERITA RIAU, JAKARTA - Jika sudah punya niat yang tidak baik, apapun bisa dijadikan lahan untuk meraup rupiah. Itulah yang tergambar dari pegawai Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna. 

Tersangka suap di Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna
usai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Kuningan, Jakarta beberapa hari lalu.
Bahkan untuk urusan penundaan salinan putusan perkara pun bisa dijadikan ajang mencari uang. Aksi pasang tarif dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) sepertinya sudah biasa dilakukan Andri. Tidak tanggung-tanggung dalam kasus salinan putusan perkara Ichsan Suaidi tarifnya Rp400 juta tanpa ditawar.

Sumber jpnn menyebutkan, perkara ini bermula dari Ichsan Suaidi yang takut terhadap putusan hakim MA. Sebelumnya majelis hakim agung yang diketahui Artidjo Alkostar mengganjar Ichsan dengan vonis lima tahun penjara, denda Rp200 juta dan kewajiban membayar uang pengganti Rp4,46 miliar, subsider 1 tahun penjara. Putusan itu dibacakan September 2015.

’’IS (Ichsan Suaidi, red) rupanya takut. Dia kemudian meminta bantuan ke ALE (Awang Lazuardi Embat, red),’’  ujar sumber itu. Awang dimintai tolong karena selama ini dia menjadi corporate lawyer perusahaan Ichsan, PT Citra Gading Asritama. Dia juga dianggap punya kenalan orang di MA. Awang sebenarnya tak menangani kasus korupsi Ichsan yang diusut Kejari Selong, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat penyidikan hingga proses persidangan, Ichsan menggunakan pengacara lain.

Saat dimintai tolong, Awang mengenalkan Andri ke orang kepercayaan Ichsan. Dari situ terjadilah pembukaan harga. Andri terang-terangan mengajukan permintaan uang Rp400 juta untuk penundaan penerbitan salinan putusan selama tiga bulan.

Entah ucapannya benar atau tidak, uang itu kata Andri tidak untuk dirinya saja. Melainkan untuk sejumlah orang di MA yang akan membantu penundaan salinan. ’’Katanya (Andri) kalau tidak ada uang, permintaan tolongnya ke sejumlah orang hanya akan disanggupi tanpa dikerjakan,’’ kata sumber tersebut.

Staf Ichsan lantas menyampaikan pesan itu ke bosnya. Ichsan langsung menyetujui tanpa punya niat menawar. Nah, dalam proses pemberian uangnya, Ichsan meminta tolong Awang. Dari situlah kemudian praktik penyuapan ini terbongkar operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Pimpinan KPK tak mau berkomentar terkait hal ini. Mereka hanya menegaskan KPK masih berupaya mengembangkan perkara ini baik ke sisi penerima maupun pemberi suap.  ’’Sabar ya ini seperti gunung es,’’ ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK, Selasa 

Sementara itu, pengacara Awang, Gunadi tak membenarkan namun juga tidak mengelak terkait kronologi praktik penyuapan tersebut. Dia tak mau berkomentar terkait perkara yang menjerat kliennya. ’’Nanti akan kami buka semuanya di persidangan, ini strategi kami. Yang jelas perkara ini terjadi bukan karena inisiatif klien kami,’’ ujarnya. 

Awang bakal dibantu oleh sekitar 20 pengacara dari Peradi Malang. Terkait perkara ini, KPK melakukan sejumlah penggeledahan di Surabaya. Salah satu sasarannya kantor PT Citra Gading Asritama.

Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan penggeledahan dilakukan di sejumlah tempat. ’’Saya belum bisa sampaikan detailnya, karena ada banyak lokasi yang akan digeledah. Takut nanti mengganggu proses di lapangan,’’ ujar Yuyuk.

Seperti diketahui, KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus suap terkait penundaan pemberian salinan putusan kasasi Mahkamah Agung. Mereka adalah Kasubdit Kasasi dan PK MA Andri Tristianto Sutrisna (ATS), pengusaha Ichsan Suaidi (IS), dan pengacara Awang Lazuardi Embat (ALE). Penetapan tersangka ketiganya menyusul operasi tangkap tangan yang digelar KPK di Gading Serpong, Tangsel, Banten pada Jumat (12/2/2016) lalu. 

Ichsan merupakan terdakwa dugaan korupsi Labuhan Haji di Lombok Timur. Bersama Awang yang notabene kuasa hukummnya, ia diduga menyuap Andri terkait kasus yang membelitnya.(dow/jon)

source : jpnn

Jika sudah punya niat yang tidak baik, apapun bisa dijadikan lahan untuk meraup rupiah. Itulah yang tergambar dari pegawai Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna.

Post a Comment

Powered by Blogger.